Sudah kita ketahui, ukuran lebar rel kereta api yang dipergunakan untuk angkutan penumpang dan barang di Indonesia pada umumnya adalah 1067mm atau 3 ft 6 in. Bukan tanpa alasan ukuran rel tersebut dipergunakan secara umum di Indonesia. Semenjak menjadi negara koloni dari Kerajaan Belanda. Ukuran rel ini familiar dipergunakan mulai dari ujung barat di Sumatra Timur / saat ini Sumatra Utara kemudian Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Lampung. Di pulau Jawa mulai dari ujung paling barat yaitu Merak hingga ujung timur Banyuwangi. Tercatat pula jalur kereta api di Sulawesi dan Kalimantan sempat pula menggunakan ukuran rel 1067mm untuk keperluan tambang dan angkutan penumpang secara terbatas. Namun, untuk menjadi sebuah ukuran rel yang umum digunakan maskapai kereta api negara, swasta maupun pertambangan ternyata ukuran rel ini memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Dalam artikel kali ini saya akan mencoba menjelaskan awal mula dan sejarah pemilihan ukuran rel di Hindia Belanda / Indonesia.
1435mm Dari Samarang Lalu Ke Tanah Para Raja,
NISM atau Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij yang berdiri pada 27 Agustus 1863 merupakan maskapai / perusahaan kereta api swasta dan pertama di Hindia Belanda. Setelah mendapat izin atau konsensi dari pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta api antara Samarang (Semarang) menuju ke daerah Tanggoeng yang dibuka tahun 1867. Pada jalur pertama ini NISM memilih menggunakan lebar rel 1435mm atau 4 ft 8 1⁄2 in. Pemilihan ukuran rel tersebut mengacu pada pilihan Jp de Bordes yang merupakan seorang Insiyur. Menurut beliau, pilihan ukuran rel standart Eropa atau model “stephensone” dengan lebar rel 1435mm untuk jalur kereta api pertama di Jawa sebenarnya merupakan hal yang biasa atau lumrah. Jalur kereta api nasional di Belanda (NS) dengan ukuran rel standar itu tidak memiliki masalah. Contoh lain menurut beliau seluruh jalur di Eropa seperti Hannover, Prusia dan Belgia juga menggunakan ukuran yang sama. Kemudian Jalur-jalur dipegunungan Semmering juga mempergunakan ukuran serupa dan tidak ada masalah yang berarti. Malah lain cerita untuk jalur kereta api di Bombay (India) menggunakan ukuran yang lebih lebar yaitu 1676mm atau 5 ft 6 in.
Pada perkembangan selanjutnya, jalur 1435mm ini dibangun lebih masif oleh NISM pada ruas-ruas:
Tanggoeng-Kedungjati, Kedungjati-Ambarawa/Willhem 1, Kedungjati-Solo, Solo-Jogjakarta, Jogjakarta -Brossot-Sewugalur, dan Jogjakarta -Passar Gede -Pundong.
Selain ukuran rel 1435mm yang sudah lebih dulu familiar pada lintaran rel yang ada di Eropa, NISM tidak perlu memikirkan desain khusus untuk lokomotif dan gerbong yang akan dipergunakan. Banyaknya pabrik lokomotif dan gerbong di Eropa membuat NISM dapat memilih mana yang dirasa cocok sesuai kebutuhan di tanah jajahan. Dapat kita lihat juga dari model gerbong barang yang digunakan oleh NISM dimana model dan tipenya tidak jauh berbeda dengan yang sudah beredar di Eropa.
Dikritik Dengan Kritis,
Situasi di Hindia Belanda pada awal pembangunan jalur NIS antara Samarang-Vorstenlanden (Solo-Jogjakarta) ternyata menuai banyak kritik, tak terlepas dari banyak pegawai negeri yang kritis terhadap ukuran lebar rel yang dipergunakan. Ya, kalian tidak salah membaca kritis dalam hal ukuran lebar rel! Kritik mulai berdatangan dari pegawai negeri di negara induk dan negara koloni yang membahas persoalan ini. Sekertaris kolonial dan para pejabat tanah jajahan tampak mendengarkan penjelasan dari para ahli. Pada maret 1869 pemerintah kolonial membentuk sebuah komite yang terdiri dari dua orang ahli untuk mempelajari masalah dan menghasilkan solusi sekaligus rekomendasi. Salah satu ahli tersebut adalah N.H. Henket yang sudah lama tinggal di Jawa. Yang lainnya adalah Insinyur konstruksi J.A. Kool yang bertugas di NS (Netherlands Spoorwegen). Tugas mereka pada awalnya tegas dan jelas untuk menyelidiki ukuran rel yang cocok untuk masa depan semua jalur rel di Hindia Belanda bukan hanya untuk NISM atau maskapai perkeretaapian swasta yang lain namun secara nasional. Hasil dan solusi mereka adalah Hindia Belanda lebih cocok menggunakan lebar rel 1000mm atau 1100mm.
Laporan kedua ahli ini kemudian siap pada awal September 1869 menyebutkan bahwa lebar rel 1000mm atau 1067mm merupakan ukuran rel yang cocok untuk kebutuhan transportasi saat ini hingga masa depan di Hindia Belanda. Selain itu ukuran rel dengan lebar 1067mm lebih murah, mudah dibangun dan dioperasikan. Masukan mereka yang lain adalah tetap membiarkan jalur 1435mm yang sudah dibangun antara Semarang-Vorstenlanden dan tidak perlu untuk dirubah. Namun dalam pembangunan jalur baru antara Batavia-Buitenzorg (Jakarta-Bogor) mempergunakan ukuran rel baru yaitu 1067mm. Alasannya, lokomotif uap dengan lebar rel serupa telah berhasil dipergunakan di Norwegia dan Queensland – Australia.
Sebuah solusi dari hasil studi para ahli jelas menghasilkan masukan yang baik bagi pemerintah kolonial namun hal itu tak terlepas pula dari kritik. Terdapat kritik dari seorang bernama T.J. Stieltjes. Beliau merekomendasikan ukuran rel sempit 750mm karena melihat traksi uap di Festiniog – Wales. T.J. Stieltjes percaya bahwa ukuran 750mm sudah cukup untuk segala keperluan di sebuah negara koloni. Namun, pemerintah kolonial memilih mengabaikan masukan Stieltjes. Walau dalam prakteknya ukuran rel 750mm dan 600mm dibangun dan dipergunakan oleh maskapai pemerintah (AT/ Atjeh Tram dan SS di beberapa lintasan).
Dengan demikian ukuran rel 1067mm merupakan standar untuk semua lintasan yang akan dibangun di Hindia Belanda oleh maskapai Negara maupun maskapai Swasta dengan sebutan “indisch normal gauge”. Sedangkan untuk ukuran lebih lebar yaitu 1435mm milik NIS akan disebut “indisch breedspoor”.
Perkembangan Pada Era Selanjutnya,
NISM yang sebelumnya sudah membangun jalur kereta api dengan ukuran rel 1435mm mengakui bahwa ukran rel tersebut terlalu mahal, boros material dan memakan radius belokan yang terlalu besar. Sebagai solusi untuk perkembangan angkutan pada masa yang akan datang NISM ikut pula membangun jalur-jalur baru dengan ukuran rel 1067mm yang baru seperti Batavia-Buitenzorg, Jogja-Magelang-Secang-Ambarawa. Secang-Temanggung-Parakan dan Semarang-Gundih-Surabaya Pasar Turi. Jalur yang sudah dibangun sebelumnya dengan lebar rel 1435mm ikut pula ditambahkan rel ketiga. Sistem ini sekaligus dapat mengoperasikan dua lebar rel sekaligus yaitu 1067mm dan 1435mm pada lintasan Samarang-Vostenlanden.
Maskapai Negara seperti SS (Staatsspoorwegen) juga membangun jalan kereta api di pulau Jawa dengan lebar rel 1067mm. Meski beberapa lintasan trem seperti Balung-Ambulu dan Cikampek-Cilamaya menggunakan rel 600mm dikarenakan beberapa hal teknis dan mangsa pasar angkutan yang berbeda dari lintasan jalan rel yang lain.
SSS di Sumatra Barat dan ZSS yang berada di Sumatra Selatan dan Lampung juga mengukuti induknya di Jawa dengan mengadopsi lebar rel 1067mm. Dengan persamaan ukuran rel ini mutasi sarana lokomotif dan bakal pelanting menjadi lebih mudah.
Ketika SS membuka jalur kereta api di Sulawesi, ukuran rel 1067mm juga menjadi pilihan. Namun sayang jalur ini ditutup akibat krisis dunia pada tahun 1930an.
DSM sebagai maskapai swasta penguasa pantai timur Sumatra juga tidak mau ketinggalan. Sebagai perusahaan kereta api yang berawal dari perusahaan perkebunan, DSM jelas sekali memerlukan angkutan hasil bumi yang efisien. Jalur 1067mm juga dipilih menjadi standart lebar rel milik DSM, namun DSM juga mengoperasikan lebar rel yang lebih sempit yaitu 600mm di Gunung Kataran sebagai sarana angkutan batu ballast dari sungai padang menuju ke stasiun Gunung Kataran.
Beda halnya dengan AT/ASS (Atjeh Tram / Atjeh Staatsspoorwegen) Jalur kereta api di tanah rencong ini pada awalnya memiliki ukuran 1067mm antara Kota Raja – Olehleh yang kemudian dirubah menjadi 750mm. Hal ini persis seperti kritik T.J. Stieltjes yang menyuarakan ukuran rel 750mm pada jaringan rel di Hindia Belanda. Alasan perubahan ukuran rel AT/ASS dikarenakan hal politis dan seringnya terjadi pemberontakan yang menentang kekuasaan Belanda. Karena alasan politis itu tadi, jalur rel di Aceh lebih fokus untuk kepentingan militer dan keamanan.
Daftar Refrensi:
De Spoorwegen in Nederlands-Indie 1864-1942.
De Stoom Tractie op Java en Sumatra.
Spoorwegstation op Java.
nbsusanto says:
mantap mas diulas secara mendetail.. nampaknya bisa jadi artikel series di beberapa masa ya mas.. termasuk penyempitan di masa jepang dan kini 1435 mulai dipakai lagi..