Foto: B53 07 selepas stasiun Pagottan arah Kanigoro – Kab Madiun. “Marc Dahlstrom ” koleksi Yoga Cokro.
Tahun 1973 Marc-Dahlstrom melakukan kunjungan ke Indonesia bersama beberapa peserta lain seperti A.E. Durrant penulis buku PNKA Power Parade dan Lokomotip Uap. Dalam kesempatan ini beliau beserta rombongan banyak sekali mengabadikan perjalan kereta api dengan lokomotif uap.
Bisa dikata tahun 1970an adalah masa-masa terakhir lokomotif uap berdinas di lintas utama maupun cabang.
Beberapa jadwal kereta penumpang maupun barang sudah banyak diambil alih oleh generasi lokomotif diesel. Namun di beberapa jalur cabang seperti Madiun-Ponorogo-Slahung masih dapat dijumpai lokomotif uap. Lokomotif-lokomotif ini yang dulu merupakan armada andalan milik perusahaan SS.
Salah satunya, lokomotif tipe B53 (yang ada dalam foto diatas).
Total ada 9 unit B53 yang pernah dioperasikan di Indonesia. B53 atau seri SS 650 ini dibuat oleh 2 pabrik yang berbeda. Nomor 01-07 dibuat oleh Hartmann-Chemnitz pada tahun 1912 dan nomor 08-09 yang dibuat oleh Werkspoor-Amsterdam tahun 1914. Pada awalnya lokomotif ini banyak bertugas dilintas-lintas utama milik SS sekitar Madiun-Kertosono-Surabaya. Ketika masuknya lokomotif diesel di era 60an peran lokomotif B53 di jalur utama mulai tersingkir. Tidak lama kemudian lokomotif tipe B terbesar dikelasnya ini “dibuang” ke lintas Madiun-Ponorogo
B53 memiliki konfigurasi roda 4-4-0 dengan berat total sekitar 54,75 ton. Lokomotif ini dapat dipacu dengan kecepatan maksimal 80km/jam namun karena faktor usia dan jalan rel yang buruk dilitas Madiun-Ponorogo kecepatan B53 hanya dibatasi sekitar 50km/jam saja.
Sebagai generasi lokomotif uap yang tergolong modern, B53 sudah dilengkapi dengan sistem super heater atau sistem uap kering. Beberapa unit lokomotif B53 juga sudah mengalami perubahan jenis bahan bakar dari kayu jati menjadi minyak residu.
Dalam beberapa literatur yang saya baca, B53 merupakan satu seri lokomotif uap dengan 4 gandar penggerak dengan bobot terberat. Bahkan lokomotif ini tidak dizinkan untuk berjalan dilintas Ponorogo-Slahung karena tekanan gandarnya yang kelewat batas untuk lintas tersebut.
Seperti biasa, seribu sayang dari 9 unit lokomotif B53 yang ada, keseluruhanya habis tak bersisa. Semuanya sudah jadi besi rosokan dan mungkin loyang martabak.