Lokomotif C24, Jawara Pegunungan Milik NISM

Leave Comment

Lokomotif C2409 / NIS 279 ketika baru datang di bengkel NISM Samarang. (J.J.G. Oegema)

Sebuah malam yang mengusik ketenanganku. Seperti biasa, om Soni Gumilang alias bapak admin Kereta Nostalgia secara tiba-tiba chatting di WA pribadi. “mban, sudah riset artikel soal lokomotif C24?”
Spontan aku aku bilang belum. Hehe beberapa waktu ini agak disibukan oleh pekerjaan yang tidak bisa diganggu gugat. Beliau meminta waktuku sebentar untuk membaca beberapa refrensi buku yang ada di lemari. Ya akhir akhir ini saya memang gak sempat membaca koleksi buku akibat deadline pekerjaan.
Ternyata betul saja, saya kesambet untuk menuliskan cerita soal lokomotif C24 yang menjadi “jawara pegunungan” di tengah pulau Jawa. Seperti apa kisah C24 ini, secara menarik akan saya tuliskan dibawah ini.

Cuplikan lokomotif NISM 271 dengan rangkaian gerbong barang yang panjang di Halte Candi Umbul – Magelang. (c) eyefilm.nl

Lokomotif C24 Yang dipesan Khusus.
NISM sebagai maskapai swasta telah sukses membangun jalur kereta api antara Yogyakarta-Magelang pada 1902 dan dilanjutkan sekmen Magelang-Secang-Ambarawa pada 1903-1905 dan jalur cabang antara Secang-Temanggung-Parakan ditahun 1907. Kemudian NISM merasa perlu untuk menghadirkan lokomotif uap baru di jalur ini sebagai bentuk modernisasi dan penambahan armada lokomotif uap selain tipe C16 / Kelas NIS 250 yang lebih dulu mondar-mandir. Lokomotif C24 dipesan secara khusus oleh NISM ke pabrik lokomotif di Belanda yaitu Werkspoor – Amsterdam. Lokomotif didesain memiliki berat gandar maksimum 10ton dengan gaya tarik efektif 5000kg. Selain itu NISM memiliki spesifikasi khsusus agar lokomotif ini dapat melaju dijalan rel antara Gemawang-Bedono-Jambu yang meiliki sistem rel bergigi model Riggenbach. Sistem rel ini terkenal extrim dan tidak dapat dilewati lokomotif sembarangan.
Spesifikasi NISM untuk lokomotif baru ini haruslah mampu berjalan pada gradien 6,5% atau 65 permil pada kecepatan 30km/jam dengan kereta atau gerbong sebanyak 8 unit, atau 200 gerbong pada jalur datar dengan kecepatan yang sama yaitu 30km/jam. Spesifkasi lain yang unik adalah terdapat 3 gelas duga / water level pada tipe ini. Fungsi dari gelas duga ke tiga apabila lokomotif sedang melewati jalur dengan kemiringan 6,5% atau 65 permil posisi air pada ketel tetap akan terpantau dan untuk mencegah lokomotif kehabisan air. Sungguh bahaya sebuah lokomotif uap kehabisan air saat berjalan karena dapat meledak ketel uapnya.
C24 merupakan lokomotif berjenis tenderlok, dipesan sebanyak 15 unit dan dikirim perdana pada Agustus 1908. C24 kloter 1 mendarat di Tanjung Mas (Semarang) dan mulai digunakan pada tahun 1909. Kloter pengiriman pertama meliputi NIS 271-280 (C2401-C2410) disusul kemudian pada tahun 1911 sebanyak 5 unit yang meliputi NIS 281-285 (C2411-C2415). Total ada 15 unit lokomotif C24 yang dikirim ke Hindia Belanda.

Kelas NISM 271 ini adalah lokomotif termodern milik NISM dimasanya. Sangat berbeda dengan lokomotif buatan Hartmann-Jerman yang banyak dioperasikan oleh NISM. C24 didesain untuk mengkonsumsi bahan bakar kayu jati split dan sudah menggunakan sistem uap Super Heater / Pemanas Lanjut yang menghasilkan uap kering sebagai sumber tenaga. C24 merupakan Lokomotif NISM yang pertama menggunkan sistem ini. Kemudian untuk sitem distribusi uapnya menggunkan Walschaert dan model peti api Belpaire. Pada kotak asap lokomotif ini dilengkapi dengan katup peredam. Katup peredam ini dapat dibuka menggunakan motor servo yang terkoneksi dengan masinis di ruang kabin. Sedangkan untuk mengukur suhu didalam peti api menggunakan Pirometer / Termometer pengindraan jauh yang dibuat oleh Steinle & Hartug dan diletakan pada kotak superheater sedangkan untuk dial atau petunjuk dapat dibaca dari kabin masinis. Sistem pelumasan untuk mesin silinder dibuat sistem delapan sambungan oleh Alex Friedmann dari Wina-Austria. Sistem rem pada lokomotif ini juga beraneka ragam dan bisa dibilang rumit dimasanya. Kombinasi antara rem tangan, rem uap (silinder, mirip dengan sistem kerja rem dinamik / dynamic brake) dan rem darurat tipe Exter dan rem tekanan belakang tipe Riggenbach.

Lokomotif C2410 di stasiun Magelang Kota / Kebonpolo 1970an. (Koleksi Yoga Cokro)



Sebagai Lokomotif yang memiliki tenaga besar dan sukses (bisa dibilang ini lokomotif tersukses yang dibuat oleh Werkspoor), C24 dengan baik mondar-mandir di jalur pegunungan Jawa Tengah antara Ambarawa-Bedono-Gemawang-Secang hingga Yogyakarta. Lokomotif ini juga merajai jalur hingga Temanggung-Parakan sambil menemani sodara tuanya NIS 250/ C16.
Di jalur bergigi Jambu-Bedono-Gemawang hanya C24 dan B25 yang bisa beroperasi, B25 buatan Esslingen yang notabennya memang lok bergigi dengan sistem Riggenbach. C24 selain beroperasi pada lintas diatas, lokomotif ini sempat dioperasikan di lintasan Semarang-Gundih hingga Surabaya. Karasterisktik lokomotif tanpa gerbong tender memudahkan oprasional apabila lokomotif berjalan mundur, dimana tidak diperlukan meja putar untuk memutar arah lokomotif. Selain itu kapsitas air yang lumayan banyak dianggap menguntungkan, dikarenakan posisi tangki air berada disamping ketel uap. Sistem Super Heater juga menghasilkan efisiensi tenaga yang maksimal sekaligus menghemat konsumsi bahan bakar dan air.
Dapat disimpulkan, lokomotif C24 merupakan lokomotif adhesi (bukan lokomotif bergigi) yang dapat melewati jalur bergigi antara Jambu-Bedono-Gemawang dengan kemampuan maksimal 8 unit gerbong pada kemiringan 6,5% atau 65 permil.
Dari 15 unit yang didatangan, 1 unit rusak akibat perang dunia ke dua. Lalu tersisa 14 unit yang berangsur afkir. Ditutupnya lintas Jogja-Magelang-Secang-Parakan/Ambarawa ditahun 1970an ikut mengakhiri tugas dari C24.
Saat ini tersisa 1 unit lokomotif C24 (C2408) yang disimpan di Museum Kereta Api Indonesia di Ambarawa. Sebelumya, lokomotif ini berada di kroya sebagai lokomotif langsir di tahun 1970an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *